Rabu, 14 Maret 2012

Tips Sukses Bangsa Jepang


Uwwooooooghhh, udah lama engga buka ginian. maklum udah dibanjiri sama tugas-tugas kuliah..

Btw, beberapa hari kemaren waktu aku lagi bongkar-bongkar rak buku, aku nemuin materi bacaan waktu SMA dulu yang dikasi sama guru geografi. Isinya tentang rahasia bangsa Jepang hingga akhirnya mereka bisa jadi bangsa yang besar seperti sekarang. Ini nih sifat-sifat mereka yang bikin mereka maju..



1.      Kerja Keras
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam pegawai di Jepang adalah 2.450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris ( 1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang malam (tepatnya pagi) sehingga mahasiswa tidak enak pulang duluan.

2.      Malu
Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era Samurai, yaitu ketika mereka kalah dalam pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena mengundurkan diri bagi para pejabat (menteri dan politikus) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal melaksanakan tugasnya. Efek negatifnya adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3.      Hidup Hemat
Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap antikonsumerisme berlebihan ini tampak dalam berbagai bidang kehidupan. Contohnya para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju took sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak mampu, melainkan lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian. Profesor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus, bersama dengan mahasiswa-mahasiswanya. 

4.      Loyalitas
Loyalitas membuat sistem karier di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari industri di Jepang yang sebagian besar hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan.

5.      Inovasi
Jepang bukan bangsa penemu, melainkan orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Akan tetapi, ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah. Mobil yang dihasilkan juga relative lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah dirawat, dan lebih hemat bahan bakar.

6.      Pantang Menyerah
Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun berada di bawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (Meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batu bara, biji besi, dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori ketika orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama Shippagaiku (ilmu kegagalan).

7.      Budaya Baca
Jangan kaget kalau Anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya, baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau bediri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP, maupun SMA, sehingga minat baca masyarakat semakin tinggi. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman).

8.      Kerjasama Kelompok
Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “satu orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang Amerika, tetapi sepuluh orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan sepuluh orang professor Jepang yang berkelompok”. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan rin-gi adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam rin-gi.

9.      Mandiri
Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Kalaupun kehabisan uang, mereka meminjam uang kepada orang tua yang nanti mereka kembalikan pada bulan berikutnya.

10.  Jaga Tradisi
Perkembangan teknologi dan ekonomi tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Pertanian merupakan tradisi leluhur dan asset penting di Jepang.